BALI,
KABARINDONESIA.CO.ID – Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah
Kementerian Dalam Negeri Restuardy Daud secara resmi membuka pasokan air
minum program pelatihan peningkatan kapasitas Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD) dan Pemerintah Daerah (Pemda) terkait pasokan air minum. Acara
yang diselenggarakan di Bali beberapa waktu lalu dihadiri sejumlah
pejabat daerah dan pemangku kepentingan terkait.
Pada sambutannya, Restuardy Daud menekankan pentingnya percepatan
pencapaian target nasional akses air minum aman.
“Berdasarkan
baseline, tahun 2019 capaian pada akses air minum aman sebesar 90,21%.
Kita menargetkan pada tahun 2024 akses air minum dapat tercapai 100%.
Namun, hingga 2023, kita baru mencapai sebesar 91,72%, dengan rata-rata
pertumbuhan sebesar 0,47% per tahun selama empat tahun terakhir. Jika
tren ini tidak dipercepat, kita hanya akan mencapai 92,19% pada akhir
2024, meninggalkan kesenjangan sebesar 7,81% dari target,” jelasnya,
dalan rilis yang diterima redaksi, Senin (9/9/204).
Ia
juga mencatat bahwa perencanaan dan penganggaran terkait pasokan air
minum masih menghadapi tantangan signifikan. “Kita melihat adanya ‘gap’
antara Rencana Kerja Daerah (RKPD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) untuk air minum, yang tercatat sebesar 42,7% pada 2021,
turun menjadi 35,3% pada 2022, dan 22,3% pada 2023,” imbuh Restuardy.
Selain itu, anggaran pemerintah daerah untuk manajemen air minum juga
mengalami penurunan, dari Rp 7,3 triliun pada 2022 menjadi Rp 6,4
triliun pada 2023.
Lebih lanjut, Restuardy menyoroti pentingnya pembiayaan yang stabil
untuk manajemen pasokan air minum di tingkat kabupaten. “Pembiayaan
untuk Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) fluktuatif, yang mana hanya
73,46% dari RKPD yang dapat dipenuhi oleh APBD pada 2021, 35,50% pada
2022, dan 50,51% pada 2023,” ujarnya.
Ia juga menyinggung tentang proyeksi kebutuhan pembiayaan publik dan
non-publik untuk air minum hingga tahun 2034. Berdasarkan data yang ada,
kebutuhan pembiayaan untuk program NUWSP diproyeksikan mencapai Rp 44
triliun hingga 2029 dan Rp 47 triliun hingga 2034.
Menurut Restuardy, kerja sama dengan pihak ketiga sangat penting dalam
menjembatani kesenjangan pembiayaan dan layanan. “Kerja sama dengan
pihak ketiga memberikan kontribusi terbesar, yakni sebesar 69,7% dari
total kebutuhan pembiayaan,” tambahnya.
Pada akhir sambutannya, Restuardy menegaskan pentingnya mobilisasi
berbagai sumber pembiayaan, seperti CSR, hibah, kerjasama regional, dana
desa, dan kemitraan publik-swasta.
“Untuk
mencapai target nasional akses air minum yang aman, kita harus
memanfaatkan semua sumber daya yang tersedia,” pungkasnya.
Dengan demikian, Restuardy berharap bahwa kolaborasi antara pemerintah
pusat, daerah, dan pihak ketiga dapat mempercepat pencapaian target
akses air minum aman bagi seluruh masyarakat Indonesia. (*/kg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar