Densus Anti Teror (net) |
Dua tokoh kunci militan itu adalah Isnilon Hapilon sebagai "emir" yang
berbaiat dengan ISIS di Asia Tenggara serta Omarkhayam Maute, satu dari dua
saudara laki-laki terpelajar Timur Tengah yang memimpin milisi militan. Mereka
terbunuh dalam sebuah operasi berdasarkan informasi dari sandera yang baru saja
diselamatkan.
Berdasarkan informasi dari sandera itulah, menurut Lorenzana, pasukan militer melakukan rencana penyerangan. Mereka berangkat pagi dan ... mereka terbunuh. Begitu kisah dari Delfin Lorenzana kepada wartawan.
Berdasarkan informasi dari sandera itulah, menurut Lorenzana, pasukan militer melakukan rencana penyerangan. Mereka berangkat pagi dan ... mereka terbunuh. Begitu kisah dari Delfin Lorenzana kepada wartawan.
Kematian kedua tokoh itu merupakan
kemenangan besar bagi militer, dalam merebut kembali Marawi, satu-satunya kota
mayoritas Muslim di negara yang mulai melakukan pemberontakan 23 Mei 2017.
Ratusan ribu orang Filipina telah mengungsi akibat pertempuran tersebut, yang menurut pihak berwenang telah menewaskan 813 pemberontak, 47 warga sipil dan 162 tentara. Tentara anak dan remaja termasuk di antara pejuang militan.
Pendudukan pemberontak di jantung Marawi telah menjadi krisis keamanan internal terbesar di Filipina selama bertahun-tahun yang warganya mayoritas beragama Katolik.
Pemimpin lain, Abdullah Maute, komandan militer kelompok tersebut, dilaporkan oleh tentara telah dibunuh pada Agustus, meskipun tidak ditemukan mayat untuk membuktikan kematiannya. Lorenzana mengatakan militer berusaha menemukan komandan pemberontak lainnya, seorang pengusaha Malaysia Mahmud Ahmad. Dia juga dikabarkan sudah tewas dalam sebuah serbuan militer.
Para pemimpin tersebut menjadi pusat pemberontak yang mengumpulkan kembali, mempersenjatai kembali dan merekrut setelah bentrokan sebelumnya selama dua tahun terakhir dengan kelompok Maute.
Aliansi pemberontak Dawla Islamiya terdiri dari pejuang dari kelompok Maute dari faksi radikal Abu Sayyaf Hapilon dan dibantu oleh orang asing dari negara-negara yang mencakup Malaysia, Indonesia, Singapura dan beberapa negara Timur Tengah.
Ratusan ribu orang Filipina telah mengungsi akibat pertempuran tersebut, yang menurut pihak berwenang telah menewaskan 813 pemberontak, 47 warga sipil dan 162 tentara. Tentara anak dan remaja termasuk di antara pejuang militan.
Pendudukan pemberontak di jantung Marawi telah menjadi krisis keamanan internal terbesar di Filipina selama bertahun-tahun yang warganya mayoritas beragama Katolik.
Pemimpin lain, Abdullah Maute, komandan militer kelompok tersebut, dilaporkan oleh tentara telah dibunuh pada Agustus, meskipun tidak ditemukan mayat untuk membuktikan kematiannya. Lorenzana mengatakan militer berusaha menemukan komandan pemberontak lainnya, seorang pengusaha Malaysia Mahmud Ahmad. Dia juga dikabarkan sudah tewas dalam sebuah serbuan militer.
Para pemimpin tersebut menjadi pusat pemberontak yang mengumpulkan kembali, mempersenjatai kembali dan merekrut setelah bentrokan sebelumnya selama dua tahun terakhir dengan kelompok Maute.
Aliansi pemberontak Dawla Islamiya terdiri dari pejuang dari kelompok Maute dari faksi radikal Abu Sayyaf Hapilon dan dibantu oleh orang asing dari negara-negara yang mencakup Malaysia, Indonesia, Singapura dan beberapa negara Timur Tengah.
Jangan lupa disitu ada ‘orang-orang
asing….Indonesia. Artinya ada militant-militan dari Indonesia yang memiliki
afiliasi dengan gerakan ekstreme ini bergabung untuk membantu sebagai ‘pejuang’
melakukan pemberontakan di Marawi, Filipina.
Jangan lupa, Salah satu pendiri Maute,
Omarkhayam Maute atau Omar Maute, memiliki seorang istri yang merupakan warga
Indonesia. Wanita itu adalah Minhati Madrais yang merupakan warga Desa Buni
Bakti, Kecamatan Babelan, Bekasi.
Dengan ‘habisnya’ pentolan kelompok Maute ini, maka militer Filipina segera melakukan pembersihan di Marawi, maka operasi dan razia kependudukan segera dilaksanakan. Mereka akan teliti satu persatu penduduk, untuk menentukan apakah penduduk itu berafiliasi atau tidak dengan kelompok Maute.
Operasi militer seperti ini normal
saja, ketika pasukan sedang memerangi sebuah kelompok pemberontak. Efeknya
pasti besar. Termasuk imbas ke Indonesia, ketika mereka yang masih hidup
melakukan aksi ‘pulang’ kampung kembali ke negeri ini.
Nafsu terpendam mereka selama 148
hari bisa disalurkan ke Marawi, tetapi medan tempur itu kemudian berhasil
dikuasi kembali oleh militer Filipina. Setelah itu kemana? Ya kembali ke
Indonesia.
Apakah mereka tinggal diam? Sungguh sulit diterka! Karena mantan kombatan
itu sudah dilatih dan diajari teknik dan strategi perang. Kemampuan perang
mereka bisa seperti semi militer atau bahkan secara spirit melampaui. Ini harus
diwaspadai dan dijaga jangan sampai ditumpahkan ke Indonesia.
Polri tidak tinggal diam dan
memberikan respon langsung situasi Marawi. Bahkan Kapolda Kalimantan Timur,
Irjen (Pol) Safaruddin sudah memerintahkan Brimob Polda Kaltim di bawah
pimpinan Kombes Pol Mulyadi dan tiga SSK (Satuan Setingkat Kompi) di-BKO-kan
dikirim ke wilayah Tarakan, Berau dan Nunukan.
Mereka diberi tugas untuki mengantisipasi
masukan para kombatan yang ingin pulang kampung ke Indonesia. Kini Polisi dan
TNI sudah siap siaga mencegah mereka balik ke negeri ini.
Berdasarkan data intelijen, tidak
kurang ada 600 orang warga Indonesia yang selama ini memberikan dukungan dalam
pemberontakan di Marawi. Setidaknya jumlah inilah yang kelak akan balik ke
Indonesia. Polri sudah melakukan antisipasi itu.
Nah, jika Polri dan TNI sudah
melakukan itu apakah kemudian selesai urusannya? Untuk di tingkat polisi dan
militer barangkali kita yakin bahwa mereka siap. Justru yang dikhawatirkan
adalah ketidaksiapan warga Indonesia sendiri di dalam melakukan antisipasi atas
kehadiran mereka di negeri ini.
Para kombatan itu masuk ke Filipina
biasanya lewat jalurb tradisional, menggunakan perahu-perahu nelayan baik dari
Indonesia maupun dari Filipina. Lebih dari itu, kombatan ini bisa mendapat
perlindungan justru dari warga Indonesia sendiri. Mereka dilindungi dengan
berbagai macam alas an sosial, agama, maupun kemanusiaan.
Justru di pintu inilah aparat kita
menjadi kesulitan melakukan pencegahan, mengapa? Karena memang begitu banyak
celah mereka bisa masuk kembali ke Indonesia. Nafsu perang mereka masih
menyala-nyala. Harus dibawa kemana nafsu itu dilampiaskan? Paling rasional
adalah melakukan gangguan ke Indonesia. Inilah yang harus diwaspadai.
Jadi jangan biarkan Indonesia
dijadikan medan seperti Marawi (Filpina), Raqqa (Suriah), Afghanistan, Irak,
Libia, Yaman, dan Paskitan. Sudah begitu masif korban nyawa hilang secara keji
dan tak berperikamnusiaan di sana. Jangan lagi diimpor kembali ke Indonesia.
Polisi dan TNI sudah siap melakukan
antisipasi. Oleh karena itu bangsa dan rakyat Indonesia jangan sampai memberi
peluang sekecil apapun sikap dan perilaku terror masuk dan mengusik Indonesia.
Lawan para teroris itu! (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar